Provinsi Lampung dikenal juga dengan julukan “Sang Bumi Ruwa Jurai” yang berarti satu bumi yang didiami oleh dua macam masyarakat (suku/etnis), yaitu masyarakat Pepadun dan Saibatin. Masyarakat pertama mendiami daratan dan pedalaman Lampung, seperti daerah Tulang Bawang, Abung, Sungkai, Way Kanan, dan Pubian, sedangkan masyarakat kedua mendiami daerah pesisir pantai, seperti Labuhan Maringgai, Pesisir Krui, Pesisir Semangka (Wonosobo dan Kota Agung), Balalau, dan Pesisir Rajabasa.
Umumnya masyarakat Lampung mendiami kampung yang disebut dengan Tiyuh, Anek, atau Pekon. Beberapa kampung tergabung dalam satu marga, sedangkan kampung itu sendiri terdiri atas beberapa buway. Di setiap buwat atau gabungan buway terdapat rumah besar yang disebut Nuwou Balak. Biasanya Nuwou Balak ini merupakan rumah dari kepala kerabat yang merupakan pemimpin klan dari kebuwayan tersebut, yang disebut juga dengan punyimbang bumi. Masyarakat Lampung memiliki bahasa dan aksara sendiri, namun penggunaan bahasa Lampung pada daerah perkotaan masih sangat minim akibat heterogenitas masyarakat perkotaan dan karena itu penggunaan Bahasa Indonesia lebih menonjol. Untuk daerah pedesaan, terutama pada perkampungan masyarakat asli Lampung (riyuh ataupun pekon), penggunaan Bahasa Lampung sangat dominan. Bahasa Lamapung terdiri dari dua dialek, pertama dialek “O” yang biasanya di gunakan oleh masyarakat Pepaduan, meliputi Abung dan Menggala: serta dialek “A” dan umumnya digunakan masyarakat Saibatin, seperti Labuhan meringis, Pesisir Krui, Pesisie Semangka, Belalau, Ranau, Pesisir Rajabasa, Komering, dan Kayu Agung. Namun demikian ada pula masyarakat Pepaduan yang menggunakan dialek “A” ini, yaitu Way Kanan, Sungkai, dan Pubian. Di samping memiliki bahasa daerah yang khas, masyarakat Lampung juga memiliki aksara sendiri yang disebut dengan huruf kha gha nga. Aksara dan Bahasa Lampung itu menjadi kurikulum muatan lokal yang wajib dipelajari oleh murid-murid SD dan SMP di seluruh Provinsi Lampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar